Ditulis dari Kajian Pernikahan yang disampaikan oleh Ustadzah Vida, 24 Oktober 2021. Sesi Tanya Jawab.
Menjadi Istri yang Sabar
Pertanyaan:
Bagaimana cara menjadi istri yang sabar, tidak mudah baper, dan tidak mudah marah? Atau bahkan sampai diem-dieman dengan suami?
Gaya komunikasi laki-laki dan perempuan itu berbeda. Kalau laki-laki, apa yang dia pikirkan saat itu, ya dia sampaikan saja. Kalau perempuan, biasanya kontennya itu biasa aja, tapi konteksnya ini jadi kemana-mana.
Kalau laki-laki, dia orang yang fokus pada satu hal, baru kemudian mengerjakan yang lain. Kalau perempuan tidak, dia bisa mencuci dan melaksanakan hal lainnya secara bersamaan. Dan itu wajar. Tapi salahnya, kalau kita merasa, kok kita kaya gini ya. Padahal laki-laki juga punya sisi egonya sendiri. Kadang kata-kata suami itu nyelekit mungkin, ketika kita curhat dan tidak butuh solusi, tapi jawabannya suami, “halah ngono wae dipikir, dimasalahin”.
Sedangkan kalau suami sedang ada masalah, itu paling nggak suka kalau ditanya-tanya. “Kok kamu sedih gitu? Aku salah ya sama kamu?” Bukan begitu, tapi diamkan saja dulu, kalau belum mau cerita ya gpp, biar masuk kamar dulu, atau mau kemana dulu, dan nanti ketika sudah mau cerita, ya dia akan cerita. Kita bilang aja, “Oh lagi ada masalah ya, ya gpp istirahat dulu, gpp kalau belum bisa cerita sekarang”. Suami akan suka kalau kita bisa memahami.
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang ma’ruf”. Kadang kita mencintai tapi tidak dengan cara yang baik. Perlakukan dengan cara yang suami sukai. Atau bilang aja, “Jangan ketus ya, aku cuma mau cerita, cuma mau didengerin aja”. Bilang aja ke suami. Karena dalam keterusterangan, ada kenyamanan.
Kalau kita punya keinginan ya disampaikan, terbiasalah untuk terbuka. Budaya keluarga kita itu disampaikan. Pengennya seperti apa? Budaya keluarganya gimana? Kebiasaan dia seperti apa?
Tentu saya akan bilang, kalau saya tidak suka, akan ‘speak’ pada suami. Tapi mungkin bahasa cintanya beda. Nah, suami ini harus kita ajari gimana ngomong sama istri dengan cara yang kita sukai. Tapi, ngasih tau itu juga di momen yang tepat. Misal dengan ngeteh atau ngopi bareng.
Ketika Suami Istri Emosi
Pertanyaan:
Gimana cara kita mengola amarah ketika sedang sama-sama emosi?
Kita itu menikah kan ada levelnya. Di awal, kita mungkin merasa apa benar dia jodoh saya, apa dia jodoh yang tepat buat saya? Kita mikirnya, harusnya kan kita sama ya, padahal ya tidak mesti harus sama.
Kalau lagi sama-sama emosi, yang sama itu adalah senjatanya, yakni salah satu ada yang diam. Itulah cara mengolola amarah. Cara paling jitu adalah diam. Marah sama suami, misal dari dhuhur sampai asar aja. Coba kita sambil memikirkan hal-hal yang lebih penting daripada berantem itu sendiri. Semakin dewasa seseorang, maka semakin sebentar marahnya.
Atau kadang-kadang, lagi sama-sama emosi di depan anak. Boleh kah? Kalau saya selalu bilang, kadang-kadang boleh dan itu gpp. Karena dengan konflik, anak-anak melihat cara berkonflik orang dewasa dengan cara dewasa. Konfliknya orang tua dengan cara dewasa. Kalau gak setuju ya saya bilang, “Aku itu gamau kaya gini.” Terus suami bilang, “Lha umi udah dibilangi berulang kali kok diulangi terus?”. Anak-anak juga bilang, “Halah gitu aja marah.” Terus anak saya akan bertanya, “Umi kok kalau berantem marahnya bentar banget?” “Ya gitu cara marahnya orang dewasa dengan cara dewasa nak.” Bukan dengan diem-dieman lama, apalagi di depan anak juga diem-dieman. Gak boleh itu. Marahan itu jelehin lho. Prinsipnya, tidak boleh ada rasa jahat di hati kita, terhadap siapa saja, termasuk sama suami. Misal lagi lelah-lelahnya, tapi suami minta apa, dan minta apa lagi. Dan wajahnya cemberut, nah kita perlu sabar. Kalau sama-sama emosi, salah satu harus diam dulu, mengalah dulu.
Mengizinkan Poligami
Pertanyaan:
Ketika istri mengizinkan suami poligami, dengan alasan istri tidak mampu melayani, tapi finansial suami belum layak itu bagaimana?
Jangan dilihat semua laki-laki itu butuh poligami. Gaya banget nawarin suami poligami. Padahal ketika nanti dilakukan, istri juga tidak siap. Kalau tidak bisa melayani secara fisik, tidak semua laki-laki butuh poligami sebagai solusinya. Karena kebutuhan suami bukan cuma soal fisik saja. Kebutuhan suami bukan dengan poligami, apalagi finansialnya tidak layak, ya belum cakap, belum mampu berarti. Itu akan membuat masalah baru untuk keluarga nantinya. Lihat juga kondisi anak-anak. Ternyata yang dia cari bukan cuma fisik, tapi dilayani dari sisi yang lain. Dari kelemah-lembutan ibu misalnya, dari keikhlasan hati ibu. Itu yang disukai oleh suami.
Berbeda Pendapat dengan Suami
Pertanyaan:
Bagaimana cara yang baik untuk menyampaikan kritik ke suami? Antara keinginan suami dan keinginan pribadi, mana yang lebih baik? Gimana kalau sering berbeda pendapat dengan suami?
Jangan mengkritik saat suami sedang melakukan kesalahan itu. Tapi carilah waktu yang baik, saat suami sedang santai. Gimana kalau berbeda pendapat? Sampaikan dengan cara yang baik, bahasa yang baik. Kalau perbedaan itu tidak mempengaruhi kehidupan bersama, ya tetap harus ada yang mengalah dengan rohmah. Kalau pendapat suami benar, dan pendapat istri juga benar, yang lebih rohmah itu ialah yang bisa mengalah, yang rohmah itu yang paling bisa menjaga hubungan dengan pasangan.
Pentingnya Quality Time
Kemudian jangan merasa sibuk dengan diri sendiri. Kalau suami sedang mengajak kemana, ya turuti maunya suami, tinggalkan semuanya dulu. Kita harus bisa mengakomodasi semua, harus bisa mengakomodasi keinginan suami. Bagaimana kalau punya bayi? Harus dirancang lagi kapan waktu me-time sama suami. Kita tidak boleh dholim sama suami, suami minta ditemani ya ditemani, bilang ke anaknya, biar anak juga paham.
Ada family time dengan keluarga, ada waktu berdua sama suami. Harus ada alokasi waktunya, direncanakan. Kita tidak boleh sibuk semuanya, suami dan istri sibuk semua. Harus bisa bilang NO ke orang lain. Kalau suami sibuk, istri harus bisa jaga anak-anak. Harus dikomunikasikan antara suami dan istri. Tugas dakwah harus tetap berjalan, bilang dan minta izinlah ke suami. Tapi juga harus tau waktu prioritas dengan keluarga. Harus bisa membagi waktu dan bisa bilang NO kalau suami sedang sibuk dan kita harus menjaga anak-anak, atau jika suami sedang minta waktu untuk berdua. Suami dan anak-anak adalah prioritas utama di dalam hidup kita.
Maka setiap hari bertanyalah, kita ada acara apa ya di hari ini? Kemudian bisa juga direncanakan adanya halaqoh keluarga, misal setiap Senin dan Rabu habis Maghrib. Jumat habis Maghrib agenda musyawarah keluarga, kemudian direncanakan weekend ini mau ngapain? Karena rumah adalah ruang-ruang bahagia yang bisa kita ciptakan. Ada konflik itu gpp, itu wajar, kadang kelihatan jelek di hadapan suami itu gpp, tidak sempurna di depan suami itu gpp. Kita harus berpikir hal yang lebih besar, maka kita akan mudah untuk memaafkan apapun yang ada pada diri suami. Terima saja. Sesekali kita yang salah dan kemudian disalahkan ya gpp terima saja, kalau memang kita ini salah. Jangan jadi istri yang cemberutan, marahan, apalagi dalam waktu yang lama. Itu nggak boleh. Ada waktunya kita itu harus bisa menjadi sahabat yang baik buat suami kita.